I know it's sad, that I
never gave a damn about the weather. And it never gave a damn about me. No, it
never gave a damn about me!...P!ATD
Sial!
Aku tidak bisa tidur tadi malam. Terlalu
bising. Itu besi-besi kalau beradu, memang tidak ada yang bisa meredamnya. Aish!
Aku benar-benar mengantuk. Tapi memperhatikan bagaimana pria bertubuh mungil ini
tidur, sungguh menyenangkan. Tak ada suara. Begitu tenang tanpa dengkuran.
Wajahnya tak menunjukan dia telah mengalami banyak hal. Begitu damai. Berbeda
dengan saat ia bercerita kisah hidupnya. Ada ekspresi yang berubah-ubah
dimukanya. Emosinya sangat tidak stabil saat ia berkisah. Kadang aku memahami tiap
lonjakan dan turunan dari emosi itu. Tapi banyak juga, aku gagal memahaminya.
Memang tidak ada yang mampu memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan tiap
manusia, kecuali penciptanya.
Ia terbangun. Pria bertubuh mungil itu
mulai membuka matanya. Pelan-pelan, sambil meresapi apa yang akan dilihatnya.
Ia mulai mengubah posisinya. Tidak lagi bersandar pada jendela kereta, tapi
duduk tegak. Namun salah satu kakinya masih ia lipat diatas kaki yang lain. Ia
memandang ke luar jendela. Seakan ada yang menarik di luar sana.
Kereta berhenti di stasiun yang begitu
modern dari segi interiornya. Banyak sekali meja-meja tinggi di stasiun ini.
Tiap manusia berdiri memenuhi meja-meja itu dengan sesuatu ditangannya. Entah itu
apa?. Benda itu bersinar dan manusia-manusia itu terlihat bahagia. Tapi pada
saat mereka meninggalkan meja-meja itu, wajah mereka berubah menjadi lesu dan
muram. Ehm...ada apa dengan meja-meja itu?
Tanpa tersadar, seorang Pria Tua tiba-tiba duduk di bangku
kami. Pria bertubuh mungil tampaknya mengenal Pria Tua itu. Rupanya ini yang menarik perhatiaannya saat ia
terbangun dan menatap keluar jendela tadi. Pria Tua itu menyapanya, “Ah..Kau
lagi rupanya. Sedang apa sampah
seperti dirimu di kereta ini? Tempat apalagi yang hendak ditinggali kali ini, Sampah? Tak bosan-bosannya kau hidup nomaden. Apakah kau tak bosan menjadi sampah?”
Pria bertubuh mungil hanya tersenyum mendengar
semua pertanyaan Pria Tua itu. Baginya terlalu susah untuk berbicara panjang
lebar dipagi hari. Tapi Pria Tua itu tak
tinggal diam, ia terus memberondong pria bertubuh mungil dengan pertanyaan-pertanyaan
lainnya dan nada meremehkan.
Emosi mulai terlihat di wajah pria bertubuh
mungil, dengan nada tinggi dia menghardik Pria Tua itu, “Enyah sana kau, Pria
Tua! Bikin pusing saja mendengar ocehanmu pagi-pagi. Kau pikir dirimu itu hebat? Sampah di
Predesi lebih baik bagiku daripada dirimu!” Merasa dipermalukan, Pria tua itu akhirnya pergi
dan turun, sebelum kereta akhirnya kembali melanjutkan perjalanannya.
Aku menatap bagaimana pria bertubuh mungil
mencoba mengendalikan emosinya. Matanya berair. Ia menangis. Seluruh badannya
gemetar. Matanya seakan menggambarkan
ia sedang terbang kembali ke suatu tempat yang begitu ia kenali.
Dalam isakkannya, ia mulai bercerita
bagaimana ia pertama kali menginjakkan kaki di Predesi. Tempat itu begitu
gelap, tapi entah bagaimana, ia merasa seperti disambut di sana. Ia begitu
kelaparan saat tiba. Terduduk di gerbang Predesi, ia mencoba menatap setiap orang yang
lewat, berharap ada yang mampu menolong dan memberinya makan. Berhari-hari ia di gerbang itu menahan lapar. Ia tak
mampu berdiri dan berjalan masuk ke dalam. Lalu
lewatlah Pria Tua dan berhenti tepat disamping tubuhnya. Tanpa bicara dan seakan
mengerti apa yang dibutuhkannya, Pria Tua itu membopongnya. Begitu mungil ia dalam dekapan Pria Tua itu.
Pria Tua membawanya ke
rumah Wanita Tua. Itulah kali pertama ia berjumpa dengan Wanita Tua itu. Begitu
cantik, demikian kesan pertama yang ia dapatkan. Wanita Tua memberinya makan,
tidak mengenyangkan, tapi cukup membuatnya mampu untuk duduk dan berkata-kata. Malam
itu mereka bertiga bercengkrama hingga larut malam. Wanita Tua itu mengatakan ia
dulu sering berjumpa dengan ibunya. Pria bertubuh mungil merasa bingung, “Bagaimana
kau bisa bertemu dengan ibuku? Aku saja hampir tidak ingat bagaimana rupanya?”
“Ibumu adalah wanita kuat yang aku pernah jumpai.
Ada banyak airmata yang membentuknya menjadi wanita yang akhirnya kau kenali.
Tak pernah ada penyesalan dalam dirinya. Karena jika ia menyesalinya, artinya
ia menyesali keberadaanmu”, lanjut si Wanita Tua
“Kau benar. Ia juga pernah mengatakan demikian padaku.”.
Pria bertubuh mungil makin terisak dalam tangisnya.
“Aku hanya membenci ibuku sekali dalam umurku. Saat ia
memilih untuk pergi meninggalkanku, demi kebahagiaan yang akhirnya ia dapatkan.
Sejak itu aku berusaha untuk menemukan kebahagiaan yang sama.”
“Aku tahu itu. Aku pernah melihatmu berkali-kali di
Taralie. Kau melakukan banyak hal aneh. Sebab itu, aku tidak kaget saat
melihatmu di depan gerbang Predesi. Aku sudah menduga kau akan tiba juga di
tempat ini dalam usaha pencariaanmu itu”, si Pria Tua berusaha meneguhkan
pernyataan pria bertubuh mungil. “Aku sebenarnya menetap di sana, di Taralie.
Tapi beberapa waktu ini, aku sering berkunjung ke Predesi, untuk bertemu Wanita
Tua ini!”, cerita si Pria Tua. Ia merasa bingung dengan apa yang baru saja dikatakan Pria Tua itu.
“Mengapa kau melakukan hal-hal aneh hanya untuk
mencari kebahagiaan?”, tanya si Wanita Tua pada pria bertubuh mungil, membuyarkan kebingungannya.
“Aku merasa penasaran dengan kebahagiaan. Mengapa seorang
ibu mampu meninggalkan anaknya demi kebahagiaan? Ada banyak juga orang yang
menggadaikan hidup mereka untuk kebahagiaan itu. Aku ingin merasakannya juga,
walaupun hanya sebentar. Siapa tahu, aku akhirnya mengerti mengapa ibuku memilihnya daripada aku?”
Pria bertubuh mungil makin
gemetar, tapi dia tidak lagi terisak. Tangisannya berhenti. Hanya matanya tetap
menggambarkan ia masih melayang mengingat kembali malam itu.
“Aku pernah memintanya untuk tidak meninggalkanku. Ibuku
hanya tersenyum dan mengatakan aku pasti kuat. Iya! Aku sampai saat ini memang
masih hidup, tapi aku lemah dan lelah. Di Taralie, semua orang menyebutku
berlebihan. Mereka bilang pencariaanku hanya buang-buang waktu. Lebih baik
bangun dan mulai bekerja kembali. Mencari makan dan melanjutkan hari-hari
seperti orang-orang pada umumnya. Lagi pula mereka berkata demikian, bukan karena mereka peduli
padaku. Tapi karena mereka malu dengan keberadaanku.”. Wanita itu mulai memeluknya dan mengusap lembut kepalanya.
“Aku mungkin salah dengan semua yang kulakukan. Tapi
itu adalah apa yang ku ketahui yang mampu ditawarkan oleh Taralie bagi
orang-orang yang mencari kebahagiaan dengan cara yang tidak umum”, lanjutnya.
Pria Tua mulai berdiri dan menatap ke jendela
membelakangi ia dan Wanita Tua sambil berkata, “Aku seharusnya menemanimu saat
aku melihatmu untuk pertama kalinya di Taralie. Aku menyesal. Kau benar-benar
membutuhkan seseorang saat itu. Tapi sudahlah, ini sudah hampir subuh. Sebaiknya kau
tidur dulu di sini. Aku akan kembali mengunjungimu sore ini. Aku harus kembali
ke Taralie!”, Pria Tua itu pergi meninggalkan ia dan Wanita Tua itu yang masih
terduduk di meja yang berada tepat di tengah ruangan.
Cerita itu menggantung sampai di sana. Matanya menjelaskan
ia telah kembali dari lamunannya akan Predesi. Tapi ia memilih untuk diam. Ingin
rasanya bertanya padanya tentang Taralie. Tempat seperti apakah itu? Dan mengapa
ia meninggalkan tempat itu. Aku juga penasaran dengan apa saja yang ia alami di
Predesi, mengapa kedua tempat itu begitu emosional baginya? Tapi aku hanya bisa
bersabar hingga ia mulai bercerita kembali. Sekarang ia lebih asik memandangi
apa yang tersaji di luar jendela. Menikmati satu-satunya musik yang tersuguhkan
gratis, suara bising dari gesekan mesin-mesin itu dan cerobong asap kereta.
Aku memandangnya dengan perasaan campur aduk. Pria ini
begitu rapuh dan menyedihkan. Tapi mengasihaninya adalah penghinaan terhadap apa
yang telah ia lewati. Aku ingin lebih mengenal tiap rinci dari hidupnya. Menilainya
dengan sempurna, karena telah mengetahui segalanya dengan baik. Tapi butuh
kesabaran. Dan aku siap memberikan waktu sebanyak yang ia butuhkan. Toh, perjalanan dalam kereta inipun masih sangat
panjang.
Elen.. Sulit sekali buat ku menghapal pria bertubuh mungil, pria tua dan wanita tua.. Agak sedikit membingungkan jd nya..
ReplyDeleteJangan dihafal atuh,ka..dinikmati aja..aku sengaja ga mau pake nama..semua serba dicirikan dengan fisik..
Delete