Wednesday, February 17, 2016

PRIA BERTUBUH MUNGIL (bagian satu)

We're happy anyway, just dream...Low End Project

Sederhananya, jika ingin bahagia, kamu hanya perlu bermimpi. Memerintahkan otak untuk terus-menerus memproses apa yang kamu suka. Bukankah tiap manusia di muka bumi ini mencari sesuatu-kebahagiaan. Berjuta insan sibuk menggadaikan apa yang ia miliki hanya untuk sesuatu yang disebut kebahagian. Begitu juga dengan pria bertubuh mungil dan berparas pas-pasan dalam kacamata manusia. Padahal menurut Tuhannya, ia begitu sempurna saat diciptakan dalam kandungan ibunya. Ia sebatang kara dan sangat merindukan kebahagiaan. Ia menjalani hidupnya dengan berpindah-pindah. Saat ia tidak lagi mampu mengais sesuatu untuk menjadi makanannya, maka ia akan berpindah. Sudah empat tahun ia begini, sejak ia memutuskan untuk memisahkan diri dari yang namanya ikatan darah. Nampaknya ia cukup lelah dalam beradaptasi dengan orang-orang memiliki gelar dalam keluarga; ayah, kakak, adik, tante, paman, nenek dan kakek. Entah apa yang salah dengan dirinya. Mungkin karena ia sejak lahir tak mendapatkan pelajaran kebatinan yang benar dari sang ibu. Ia jadi lemah tanggap dan tak paham pada apa artinya kekeluargaan. Seperti kuman yang masuk ke dalam tubuh dan berakhir dengan dimusnahkan oleh tubuh, demikian juga ia menolak dan menghanguskan setiap wujud kasih yang diberikan orang-orang bergelar dalam keluarga tersebut. Ia tak mengerti apa itu menyayangi, apalagi disayangi. 

Sebulan lalu, ia masih menetap di tempat bernama Predesi. Tempat yang penuh dengan orang-orang yang mencari makan, tapi tak pernah mendapatkannya dan berakhir dengan duduk diam dalam kelaparan. Jika sudah tidak kuat dengan melilitnya perut, mereka akan meninggalkan tempat tersebut. Tapi bagi yang mampu bertahan, biasanya akan bertahan dalam kelaparan dan mati diesokan hari. Otaknya mengenali setiap centimeter dalam tempat itu-presisi. Tempatnya tidak indah, justru disana tidak banyak lampu; benda kesukaannya. Tapi ia cukup tenang selama di sana. Ia sering bercengkrama dengan seorang wanita tua yang tahu segala hal. Entah mengapa, ia menyukai wanita itu. Menurutnya begitu cantik. Hanya saja, terkadang ia ketakutan saat wanita itu diam dan hanya memandangnya dengan tatapan kosong. Ia merasa wanita itu meninggalkannya sendirian. Selain wanita itu, ia memiliki seorang Pria Tua yang ia sering ajak duduk bersama disore hari dan berbicara melalui telepati, tanpa ada kata-kata yang diluncurkan dari mulut sebagai gerbangnya. Segalanya mudah dikomunikasikan. Tak ada rahasia. Tapi belakangan Pria Tua itu pergi ke antah berantah. Pernyataan terakhirnya, " Aku tak layak di tempat ini. Hanya sampah saja yang ada di sini. Kau juga salah satunya!". Demikian apa yang ia terima dari si Pria Tua. Sejak itu, rasa lapar memaksanya keluar dan pergi, meninggalkan tempat itu. Tapi terkadang ia masih suka kembali. Lagipula ia cukup nyaman dengan suasananya. Terlebih lagi, wanita yang disukainya tinggal di sana.

Pernah juga ia tinggal di tempat bernama Shataba. Tempat yang satu ini paling berbeda dari semua tempat yang ia pernah tinggali selama empat tahun ini. Kalian tahu apa yang menjadikannya berbeda? LAMPU. Banyak lampu di sana. Tempat itu sangat terang dan bersinar. Tiap harinya lampu-lampu itu bercahaya tiada hentinya. Pria bertubuh mungil ini cukup lama menetap di sini. Hingga suatu ketika, ia melihat bagaimana tiap lampu itu mampu menyala. Ada sebuah tangki besar. Bahkan sangat besar. Ia melihat ada tangga di samping tangki itu. Tubuh-tubuh yang kering kelaparan berdiri dalam antrian, hingga di puncak tangga. Ada pria besar yang sangat dikenalinya berdiri di puncak tangga dan memegang kertas dengan pena ditangannya. Setiap ia selesai menanyai satu tubuh, maka ia akan mendorong tubuh itu jatuh ke dalam tangki. Dari tiap asap yang muncul, pastilah itu tangki berisi sesuatu yang mampu membakar tubuh-tubuh itu. Asap-asap itu ditangkap oleh saringan berterbangan yang pergi menuju tiap lampu dan menghidupkannya. Saat pria besar itu istirahat sejenak dan turun, ia pergi menghampirinya. Lama juga ia menunggu, tapi rasa penasaran lebih kuat membuatnya bertahan. 

Ia bertanya, "Mengapa tiap tubuh itu begitu kurus?"
Pria besar itu menjawab, "Mereka lelah mencari makan lagi dan kelaparan selama berhari-hari"
"Lalu, mengapa mereka berdiri dalam antrian dan dicampakkan ke dalam tangki?", lanjut pria bertubuh mungil itu.
Sambil tertawa renyah, si pria bertubuh besar menjawab, " Mereka adalah orang-orang kelaparan yang datang ke tempat ini karena tertarik dengan lampu yang benderang sepanjang waktu. Saat mereka mulai mencari makan, tak ada yang mampu mengenyangkan mereka. Beberapa berkata makanan yang mereka dapatkan terlalu pedas, sedangkan mereka memiliki masalah dengan perut mereka. Ada juga yang mengatakan, makanan yang mereka dapatkan begitu menarik dan sedap dipandang, tapi pada saat dimakan, mulut dan kerongkongan mereka sakit dan mulai berdarah. Ada juga yang mengatakan, makanan yang mereka dapatkan membuat mereka ketagihan, tapi tidak pernah merasa kenyang. Dan yang lain, harus mengeluarkan banyak pengorbanan untuk mendapatkan makanan. Sangat tidak setimpal dengan rasa kenyang yang didapatkan. Akhirnya mereka lelah mencari makan dan memilih untuk mengantri menjadi semburat cahaya yang nantinya akan menarik orang-orang baru untuk datang. Bukankah tempat ini harus terus terang dengan lampu-lampunya? Aku hanya menawarkan solusi dari kelaparan mereka". 

Pria bertubuh mungil itu bergidik. Ia meninggalkan pria besar itu dan tempat bernama Shataba sejak saat itu. Bagaimana jika suatu saat nanti, makanan yang selama ini dia dapatkan tak ada lagi, atau berubah menjadi makanan mengerikan seperti yang diceritakan pria besar itu? Ia tak mau menjadi cahaya lampu yang akhirnya mengundang orang baru dan menjebak mereka. Dan akhirnya nasib mereka akan berakhir menjadi semburat cahaya. Ogah!

Dalam perjalanannya meninggalkan tempat bernama Shataba, ia bertemu dengan aku yang menjadi teman satu tempat duduknya di kereta tua ini. Sungguh benar-benar tua ini kereta. Jalannya begitu lambat dan suara yang ditimbulkan dari cerobong asap dan gesekan tiap mesinnya, sungguh berisik. Tapi hebatnya, pria bertubuh mungil itu mampu tertidur dengan pulasnya. Setelah panjang menceritakan kisah hidupnya, ia pamit tidur karena begitu kantuk katanya. Aku tak sabar menunggunya terbangun dan menceritakan kembali apa yang pernah dia alami. Tapi mungkin untuk saat ini, aku harus mencoba untuk tertidur dan bermimipi. Badanku terlalu lelah untuk diajak bertahan berjaga bersama malam...
  

2 comments: