Thursday, September 5, 2024

Crime Imitation oleh Tokoh Renata dalam Film Sehidup Semati: Kekerasan yang Berujung Maut

Pada tahun 2021 lalu, diberitakan seorang pria di Cisauk, yang membakar mantannya karena terinspirasi film kriminal. Aksi seperti ini dikenal dengan istilah Crime Imitation atau Peniruan Kriminal. Kejahatan yang terjadi dengan modus meniru apa yang disaksikan atau dilihat, baik dari tontonan film atau televisi, bahkan kejadian nyata sehari-hari. Proses meniru sebenarnya adalah tindakan wajar yang dilakukan oleh manusia. Sejak kecil kita belajar dengan meniru apa yang dilakukan oleh makhluk hidup sekitar kita. Namun yang menjadi perkara adalah jika yang dilihat adalah tontonan kekerasan, karena hal ini berpotensi mendorong tindakan kejahatan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Huesmann, tontonan kekerasan pada anak usia 8 tahun, mendorong aksi kriminalitas pada usia 30 tahun.

Lewat film Sehidup Semati (2024), garapan Upi, kita melihat bagaimana Renata (Laura Basuki) dari seorang saksi, menjadi korban kekerasan, dan menjadi pelaku kejahatan. Renata ditunjukkan begitu lekat dengan televisi dan suguhan tontonannya, yaitu ceramah agama dan sinetron.  Bahkan ia di beberapa scene tampak begitu hafal dengan dialog sinetron yang ia tonton. Pada kondisi mental yang labil, tontonan ini berpotensi menjadi doktrinisasi modern. Hingga akhirnya Renata menciptakan sosok alter ego, Asmara (Asmara Abigail) untuk mengeksekusi pesan dari ibunya yang mengatakan seorang istri harus menjaga apa yang dipersatukan oleh Tuhan: pernikahannya. Serta keseluruhan tindakan eksekusi yang ia lakukan didasarkan pada apa yang ditampilkan oleh tontonan yang ia konsumsi.

 

Meniru Kejahatan

Layaknya film dengan tema kekerasan, pada film Sehidup Semati, suguhan adegan kekerasan disajikan, namun tidak secara brutal. Dari beberapa scene, luka lebam dan sorot mata ketakutan pada korban, kita dapat mengetahui kekerasan fisik dan verbal diberikan melebihi batasan mental yang dapat ditanggung. Jika ibu dari Renata memilih untuk memberikan racun pada suaminya guna mengakhiri kekerasan, Renata memilih untuk mengakhiri hidup dari Edwin dan selingkuhannya, dengan tujuan rumah tangganya tidak berakhir dengan perceraian.

Bergenre thriller dan horror, Sehidup Semati juga memberikan plot twist yang dijelaskan pada bagian ending. Dengan menggunakan Red Herring Falacy, penonton awalnya tidak akan menyangka Renata memiliki alter ego, dan bahkan seperti pada film Black Swan (2010), Renata diakhir film tidak lagi membutuhkan alter ego tersebut. Ia berdialog dengan Asmara yang hanya diam, saat Renata mengklaim dirinya menjadi sosok yang ia inginkan. Sambil menonton sinetron yang akhirnya menjelaskan darimana Renata mengadaptasi adegan saat ia mengeksekusi Edwin dan Ana (Chantiq Schagerl), Renata berdandan dan berpakaian seperti Asmara.

Alur cerita dalam film ini juga tidak memiliki batasan yang jelas, namun dengan memperhatikan tanda-tanda seperti sikat gigi yang tertukar posisinya, atau cermin kamar mandi yang retak, dan nuansa biru yang pekat, kita sedang melihat Renata mundur ke peristiwa-peristiwa bagaimana segala sesuatu akhirnya terjadi. Penyorotan gambar wanita kembar yang berada di ruang tamu, menjadi pertanda pecahnya kepribadian dari Renata, karena setelahnya kita akan melihat munculnya Asmara, sosok wanita alter ego. Wajar jika Upi, yang juga menulis skenario dari film ini, tidak memberikan batasan waktu yang jelas, karena pada orang dengan trauma akibat kekerasan, mereka memiliki ingatan yang tumpang tindih. Bahkan saat munculnya pribadi lain akibat tekanan mental bertubi-tubi, biasanya batasan antara kenyataan dan khayalan pun menjadi bias.

Untuk menambah mencekamnya suasana dan kesan horor pada film ini, banyak scene liminal space yang diambil dengan wide shot. Bahkan beberapa kali Renata juga disorot dalam kondisi demikian. Selain itu, penggunaan high angle saat Renata beradegan, juga menegaskan bahwa korban kekerasan selalu dalam kondisi lemah dan tidak berdaya.

Tontonan Renata yang berulang-ulang dan menemaninya dalam kondisi yang sedang mengalami trauma, ternyata menjadi suatu dorongan baginya untuk bertindak, mencapai apa yang ia butuhkan sebagai keselamatannya. Renata menyerap dan mengadaptasi tontonannya, serta berlaku seperti demikian, sebagai upaya melarikan diri dari hal-hal buruk yang ia alami dalam rumah tangganya. Dialog pemeran sinetron ataupun ceramah dari tokoh agama, menjadi landasan setiap scene yang berlangsung.

 

Kekerasan dan Para Korbannya

Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada tahun 2024, terdapat 17.141 kasus, dengan korban perempuan sebanyak 14.872 kasus. Oleh sebab itu, tepat rasanya Upi memasukkan ceramah agama yang sangat provokatif merendahkan wanita, dimana pria diposisikan sebagai ciptaan sempurna, yang mendapatkan godaan setan melalui wanita, dan memiliki kuasa penuh atas wanita. Film ini seakan memberikan gambaran bagaimana agama yang seharusnya mengajarkan kebaikan, justru menjadi budaya yang mengajarkan pelecehan terhadap wanita. Tontonan televisi yang dikonsumsi Renata pun didominasi dengan cerita perselingkuhan, sebagai gambaran bagaimana kondisi nyata di masyarakat kita yang makin marak dengan kisah perselingkuhan mulai dari artis, hingga rakyat biasa.

Seperti pada film Like & Share, dimana masyarakat justru menyerang korban kekerasan dan pelecehan, terutama jika korban adalah wanita dan menyalahkan kekerasan terjadi akibat tindakan si wanita, tanpa menyudutkan pelaku, Renata yang niatnya mengadu pada keluarga, juga malah mendapat ceramah untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Dengan alasan karena kekerasan yang ia alami adalah akibat ketidakpatuhannya pada suami. Tekanan ini rasanya menjadi lumrah diberikan pada korban kekerasan. Korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan, justru diberikan tekanan tambahan dan penghakiman oleh keluarga dan masyarakat. Padahal dalam film 27 Steps of May, jelas disajikan bagaimana efek kekerasan yang diterima sangat mempengaruhi mental dari korban dan dibutuhkan waktu yang lama untuk dapat pulih dan kembali fungsional di Masyarakat.

Kisah Renata mirip dengan yang dialami oleh Arthur dalam Joker (2019). Keduanya mengalami kekerasan yang mempengaruhi kestabilan mental mereka, membuat mereka berdelusi, dan akhirnya membalaskan rasa sakit yang mereka alami pada orang yang menyebabkan rasa sakit tersebut. Tindakan yang memang tidak diharapkan untuk dilakukan, namun akibat minimnya support system pada korban kekerasan, maka tindakan ini menjadi cara bagi mereka untuk bertahan hidup kembali. Film Sehidup Semati mempertanyakan apa yang masyarakat dapat lakukan jika orang di sekelilingnya mengalami tindakan kekerasan? Atau apakah korban harus membela dirinya sendiri dengan melakukan tindakan kriminal lainnya? 

No comments:

Post a Comment