Thursday, August 31, 2023

Ave Maryam dan Homo Volens dalam Ekosistem Agama

 

Sebagai masyarakat yang plural agama dan budaya, pemutaran film Ave Maryam masih saja menimbulkan kontroversi. Isu seksual dan cinta yang diangkat, dianggap tabu jika disandingkan dengan norma agama. Apalagi subjek seksualitas dalam film tersebut adalah seorang suster, perempuan dan abdi Tuhan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seorang suster mengucapkan tiga kaul yang membuktikan komitmen mereka dalam mengabdi. Kaul kemurnian, membuat mereka tidak menikah; Kaul ketaatan, dimana seorang suster harus siap melayani dimanapun dan kapanpun; Kaul kemiskinan, yang ditunjukkan dengan mengenakan pakaian yang disediakan oleh gereja dan hidup dalam kesederhanaan, setiap harinya. Ketiga kaul tersebut dilanggar oleh Maryam, tokoh protagonis dalam film Ave Maryam.

Sejak awal film, penonton sudah disajikan dengan sebuah adegan yang menjelaskan apa yang sedang dan akan dihadapi oleh Maryam. Bukan sekedar masalah perzinaan yang ia lakukan, namun juga metamorfosisnya sebagai makhluk biologis dan makhluk sosial. Maryam menatap lautan melalui jendela tanpa kusen dan seekor kupu-kupu menghampirinya. Adegan ini ingin menceritakan bagaimana selama ia hidup, Maryam menatap dunia dalam satu perspektif terbatas, yaitu agama. Hingga akhirnya terjadi perubahan dalam kepribadiannya, yang mengubah perilakunya dan dilambangkan oleh kupu-kupu.

Suatu ketidakwajaran dalam ekosistem agama, bagi seorang suster menyukai referensi bacaan dengan tema perselingkuhan dan seksualitas yang eksplisit: Madame Bovary dan Lady Chatterley’s Lover. Kedua novel tersebut diperlihatkan dengan gamblang diawal dan diakhir film. Berdasarkan psikoanalisis dari Sigmund Freud mengenai Homo Volens, manusia berkeinginan, Maryam sebagai makhluk hidup yang masih berada pada usia produktif, 40 tahun, memupuk dorongan biologis dari bacaan kesukaannya.  Lalu godaan yang secara aktif dilancarkan oleh Romo Yosef, seorang pastor yang datang ke kesusteran dimana Maryam berada, membuat Maryam memasuki subsistem kepribadian ego. Ia menimbang membiarkan dorongan biologis yang selama ini terpendam, untuk memiliki akses disalurkan atau tetap menahan keinginannya, karena menyadari statusnya di masyarakat.

Jika tidak ada tokoh Romo Yosef, Maryam sebenarnya akan tetap dalam kondisi prakontemplasi, salah satu tahapan dari model perubahan perilaku yang dicetuskan oleh Prochaska dan Di-Clemente. Terlihat pada film ia menjalani tugasnya sehari-hari dengan baik, yaitu menolong para suster yang sudah lansia untuk menjalani kehidupan mereka. Hingga ia akhirnya merasakan adanya perubahan dalam dirinya sejak Romo tersebut datang. Maryam menjadi suka memperhatikan Romo Yosef melatih paduan suara dan orkestra. Namun walaupun demikian ajakan-ajakan Romo Yosef diawal-awal untuk keluar bersama, ia masih tolak. Ia menyadari adanya perubahan dalam dirinya, tapi sadar dan tidak berkeinginan untuk mengalami perubahan tersebut. Namun akhirnya ia luluh dan menerima ajakan, serta menjadi sering keluar bersama Romo Yosef. Maryam memilih menggunakan baju biasa dan bukan lagi baju kesusterannya pada saat ia keluar bersama Romo Yosef, yang sebenarnya ini melanggar kaul yang ia ujarkan. Mulai melakukan perubahan-perubahan kecil, Maryam memasuki tahapan persiapan dalam perubahan perilakunya.

Pada ulang tahun Maryam yang ke-40, mereka berdua keluar bersama menuju pantai dan akhirnya melakukan hubungan intim. Maryam berada dalam tahapan aksi pada kondisi ini. Suatu ahapan klimaks dari perubahan perilaku seorang individu. Pulang kembali ke kesusteran, Maryam bergumul dan sedih dengan apa yang sudah ia lakukan. Setelah berlalu beberapa hari, Maryam bermimpi menatap lautan kembali, tapi kali ini tanpa jendela lagi, dan dengan kondisi dirinya yang telanjang. Ia terbangun dan menyadari apa yang ia lakukan sudah melanggar kaulnya pada Tuhan.  Maryam akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kesusteran, yang menyiratkan ia memilih untuk kembali kepada dirinya yang semula dan menyesali perubahan yang ia lakukan. Namun demikian, Maryam yang dulu dan yang kini, tidak lagi sama. Ia sudah bermetamorfosis menjadi Maryam yang berbeda.

Dalam film Ave Maryam ini, dialog yang ada benar-benar hemat, namun kondisi setting dan gerak tubuh dari pemain, menjelaskan lebih dari dialog itu sendiri. Sekalinya pemain berdialog, rasanya seperti menegaskan apa yang sudah dirasakan penonton dalam menatap adegan yang sedang berlangsung.

Beberapa kali juga adegan diambil dengan latar makam. Suster Moniq yang baru datang kembali ke kesusteran, sambil mendengarkan lagu, ia menatap ke arah makam. Lalu saat Maryam yang duduk dan menatap makam, Romo Yosep mendatangainya. Serta adegan saat suster Moniq menegur secara tersirat tentang nafsu yang dimiliki oleh Romo Yosep terhadap Maryam pun dilakukan di makam. Bagaimana film ini sebenarnya ingin mengingatkan, kalau manusia tidak akan luput dari kematian. Apapun yang dilakukan pasti akan berakhir dengan kematian, tapi apa yang akan terjadi sebelum kematian datang, manusia memiliki kendali atasnya. Dibekali dengan otak, manusia dapat memilih untuk menjadi apa sepanjang ia hidup.

Perubahan perilaku sebenarnya adalah hal yang wajar dialami oleh seorang individu. Hanya saja, manusia yang mencipatkan begitu banyak jenis norma ataupun aturan, membuat perubahan itu bisa menjadi bernilai negatif. Jika hanya dilihat dari kondisi biologis, Maryam mengalami hal yang sangat wajar. Dorongan untuk berkembang biak karena ia adalah makhluk hidup yang masih aktif sistem endokrinnya, sangat mungkin merasakan ketertarikan dengan lawan jenis. Apalagi bacaan yang ia baca selama ini, hanya menjadi stimulus yang tidak dapat diwujudkan. Pasti ada keinginan biologis yang tertahan. Namun ajaran agama dan tinggal dalam ekosistem agama, membatasi bagaimana Maryam harus bertindak dan berperilaku. Menjadikan apa yang dialami oleh Maryam adalah salah, bahkan merupakan dosa. Apalagi identitasnya sebagai suster yang secara sadar sudah berkomitmen untuk tidak menikah dan tetap setiap pada pelayanannya, memperburuk nilai perubahan yang ia lakukan

Menjadi pertanyaaan hingga saya menulis ini, mengapa film Ave Maryam berani mengangkat isu yang sebenarnya banyak terjadi, tapi tabu untuk diperbincangkan? Apakah sekedar hanya menyampaikan kondisi atau pengalaman seseorang saja, karena memang diakhir film ada kredit kalau film ini berdasarkan kisah nyata. Atau ada tujuan lain? Seperti mengajak penonton untuk mewajarkan apa yang terjadi pada Maryam misalnya. Hal ini tersirat dari salah satu dialog yang mengatakan untuk menyembunyikan ibadah yang kita miliki, seperti kita menyembunyikan dosa-dosa kita. Bagaimana seharusnya hubungan spiritual bukanlah untuk ajang pertunjukan, tapi menjadi keintiman dari manusia dengan Tuhan yang ia yakini. Toh tidak ada satupun manusia hingga saat ini, yang mampu mengetahui apa yang Tuhan pikirkan dan rasakan. Manusia hanya mencoba menerka-nerka cara berpikir Tuhan dengan membuat banyak aturan dalam agama untuk menyenangkan Tuhan.

Film Ave Maryam memang tidak menyajikan konflik yang dapat membuat adrenalin penonton naik-turun. Tapi apa yang disajikan seperti gelitikan pada cara manusia berpikir. Mengundang penonton untuk berkaca dan melihat dirinya sendiri, apakah memiliki pengalaman serupa, saat melakukan sesuatu yang menjadi tidak wajar dalam masyarakat karena terbentur dengan norma agama ataupun norma lainnya, yang pada akhirnya membuat kita mengurungkan keinginan kita karena malas dan lelah jika harus dihakimi oleh sekitar kita.

Maryam menjadi perwakilan bagi siapa saja yang sedang bergumul antara dirinya dan statusnya di masyarakat, yang sering kali akhirnya mengaburkan Homo Volens-nya karena merasa bersalah jika mengedepankannya, dibandingkan dengan norma-norma yang ditanamkan sedari kecil. Padahal secara psikologi dan biologi, kita memiliki sistem yang ditanam secara langsung oleh Sang Pencipta, yang sebenarnya mampu menentukan batasan yang baik untuk dilakukan dan tidak dilakukan, tanpa mengabaikan kebutuhan tubuh secara alami. Ave Maryam menjadi kesaksian dan bukan sekedar film yang menghibur dan memuaskan mata dengan tone yang indah. Film ini pun menjadi pernyataan yang ditawarkan pada masyarakat kita yang mengaku mampu bertoleransi, namun sering kali gagal dalam aksi. Satu pertanyaan terakhir, apakah kita siap mewajarkan apa yang Maryam alami dan menerimanya sebagai hal pribadi bagi Maryam, yang tidak seharusnya dihakimi?

No comments:

Post a Comment