Sebagai
masyarakat yang plural agama dan budaya, pemutaran film Ave Maryam masih saja
menimbulkan kontroversi. Isu seksual dan cinta yang diangkat, dianggap tabu jika
disandingkan dengan norma agama. Apalagi subjek seksualitas dalam film tersebut
adalah seorang suster, perempuan dan abdi Tuhan. Sudah menjadi pengetahuan umum
bahwa seorang suster mengucapkan tiga kaul yang membuktikan komitmen mereka
dalam mengabdi. Kaul kemurnian, membuat mereka tidak menikah; Kaul ketaatan,
dimana seorang suster harus siap melayani dimanapun dan kapanpun; Kaul
kemiskinan, yang ditunjukkan dengan mengenakan pakaian yang disediakan oleh
gereja dan hidup dalam kesederhanaan, setiap harinya. Ketiga kaul tersebut
dilanggar oleh Maryam, tokoh protagonis dalam film Ave Maryam.
Sejak
awal film, penonton sudah disajikan dengan sebuah adegan yang menjelaskan apa
yang sedang dan akan dihadapi oleh Maryam. Bukan sekedar masalah perzinaan yang
ia lakukan, namun juga metamorfosisnya sebagai makhluk biologis dan makhluk
sosial. Maryam menatap lautan melalui jendela tanpa kusen dan seekor kupu-kupu
menghampirinya. Adegan ini ingin menceritakan bagaimana selama ia hidup, Maryam
menatap dunia dalam satu perspektif terbatas, yaitu agama. Hingga akhirnya
terjadi perubahan dalam kepribadiannya, yang mengubah perilakunya dan dilambangkan
oleh kupu-kupu.
Suatu
ketidakwajaran dalam ekosistem agama, bagi seorang suster menyukai referensi
bacaan dengan tema perselingkuhan dan seksualitas yang eksplisit: Madame
Bovary dan Lady Chatterley’s Lover. Kedua novel tersebut diperlihatkan
dengan gamblang diawal dan diakhir film. Berdasarkan psikoanalisis dari Sigmund
Freud mengenai Homo Volens, manusia berkeinginan, Maryam sebagai makhluk
hidup yang masih berada pada usia produktif, 40 tahun, memupuk dorongan
biologis dari bacaan kesukaannya. Lalu godaan
yang secara aktif dilancarkan oleh Romo Yosef, seorang pastor yang datang ke
kesusteran dimana Maryam berada, membuat Maryam memasuki subsistem kepribadian ego.
Ia menimbang membiarkan dorongan biologis yang selama ini terpendam, untuk memiliki
akses disalurkan atau tetap menahan keinginannya, karena menyadari statusnya di
masyarakat.
Jika
tidak ada tokoh Romo Yosef, Maryam sebenarnya akan tetap dalam kondisi prakontemplasi,
salah satu tahapan dari model perubahan perilaku yang dicetuskan oleh Prochaska
dan Di-Clemente. Terlihat pada film ia menjalani tugasnya sehari-hari dengan
baik, yaitu menolong para suster yang sudah lansia untuk menjalani kehidupan
mereka. Hingga ia akhirnya merasakan adanya perubahan dalam dirinya sejak Romo
tersebut datang. Maryam menjadi suka memperhatikan Romo Yosef melatih paduan
suara dan orkestra. Namun walaupun demikian ajakan-ajakan Romo Yosef diawal-awal
untuk keluar bersama, ia masih tolak. Ia menyadari adanya perubahan dalam
dirinya, tapi sadar dan tidak berkeinginan untuk mengalami perubahan tersebut. Namun
akhirnya ia luluh dan menerima ajakan, serta menjadi sering keluar bersama Romo
Yosef. Maryam memilih menggunakan baju biasa dan bukan lagi baju kesusterannya
pada saat ia keluar bersama Romo Yosef, yang sebenarnya ini melanggar kaul yang
ia ujarkan. Mulai melakukan perubahan-perubahan kecil, Maryam memasuki tahapan
persiapan dalam perubahan perilakunya.
Pada
ulang tahun Maryam yang ke-40, mereka berdua keluar bersama menuju pantai dan akhirnya
melakukan hubungan intim. Maryam berada dalam tahapan aksi pada kondisi ini. Suatu
ahapan klimaks dari perubahan perilaku seorang individu. Pulang kembali ke
kesusteran, Maryam bergumul dan sedih dengan apa yang sudah ia lakukan. Setelah
berlalu beberapa hari, Maryam bermimpi menatap lautan kembali, tapi kali ini tanpa
jendela lagi, dan dengan kondisi dirinya yang telanjang. Ia terbangun dan
menyadari apa yang ia lakukan sudah melanggar kaulnya pada Tuhan. Maryam akhirnya memutuskan untuk meninggalkan
kesusteran, yang menyiratkan ia memilih untuk kembali kepada dirinya yang
semula dan menyesali perubahan yang ia lakukan. Namun demikian, Maryam yang
dulu dan yang kini, tidak lagi sama. Ia sudah bermetamorfosis menjadi Maryam
yang berbeda.
Dalam
film Ave Maryam ini, dialog yang ada benar-benar hemat, namun kondisi setting
dan gerak tubuh dari pemain, menjelaskan lebih dari dialog itu sendiri.
Sekalinya pemain berdialog, rasanya seperti menegaskan apa yang sudah dirasakan
penonton dalam menatap adegan yang sedang berlangsung.
Beberapa
kali juga adegan diambil dengan latar makam. Suster Moniq yang baru datang
kembali ke kesusteran, sambil mendengarkan lagu, ia menatap ke arah makam. Lalu
saat Maryam yang duduk dan menatap makam, Romo Yosep mendatangainya. Serta
adegan saat suster Moniq menegur secara tersirat tentang nafsu yang dimiliki
oleh Romo Yosep terhadap Maryam pun dilakukan di makam. Bagaimana film ini sebenarnya
ingin mengingatkan, kalau manusia tidak akan luput dari kematian. Apapun yang
dilakukan pasti akan berakhir dengan kematian, tapi apa yang akan terjadi
sebelum kematian datang, manusia memiliki kendali atasnya. Dibekali dengan
otak, manusia dapat memilih untuk menjadi apa sepanjang ia hidup.
Perubahan
perilaku sebenarnya adalah hal yang wajar dialami oleh seorang individu. Hanya
saja, manusia yang mencipatkan begitu banyak jenis norma ataupun aturan,
membuat perubahan itu bisa menjadi bernilai negatif. Jika hanya dilihat dari
kondisi biologis, Maryam mengalami hal yang sangat wajar. Dorongan untuk
berkembang biak karena ia adalah makhluk hidup yang masih aktif sistem
endokrinnya, sangat mungkin merasakan ketertarikan dengan lawan jenis. Apalagi
bacaan yang ia baca selama ini, hanya menjadi stimulus yang tidak dapat
diwujudkan. Pasti ada keinginan biologis yang tertahan. Namun ajaran agama dan
tinggal dalam ekosistem agama, membatasi bagaimana Maryam harus bertindak dan
berperilaku. Menjadikan apa yang dialami oleh Maryam adalah salah, bahkan merupakan
dosa. Apalagi identitasnya sebagai suster yang secara sadar sudah berkomitmen
untuk tidak menikah dan tetap setiap pada pelayanannya, memperburuk nilai
perubahan yang ia lakukan
Menjadi
pertanyaaan hingga saya menulis ini, mengapa film Ave Maryam berani mengangkat
isu yang sebenarnya banyak terjadi, tapi tabu untuk diperbincangkan? Apakah
sekedar hanya menyampaikan kondisi atau pengalaman seseorang saja, karena
memang diakhir film ada kredit kalau film ini berdasarkan kisah nyata. Atau ada
tujuan lain? Seperti mengajak penonton untuk mewajarkan apa yang terjadi pada
Maryam misalnya. Hal ini tersirat dari salah satu dialog yang mengatakan untuk
menyembunyikan ibadah yang kita miliki, seperti kita menyembunyikan dosa-dosa
kita. Bagaimana seharusnya hubungan spiritual bukanlah untuk ajang pertunjukan,
tapi menjadi keintiman dari manusia dengan Tuhan yang ia yakini. Toh
tidak ada satupun manusia hingga saat ini, yang mampu mengetahui apa yang Tuhan
pikirkan dan rasakan. Manusia hanya mencoba menerka-nerka cara berpikir Tuhan dengan
membuat banyak aturan dalam agama untuk menyenangkan Tuhan.
Film
Ave Maryam memang tidak menyajikan konflik yang dapat membuat adrenalin
penonton naik-turun. Tapi apa yang disajikan seperti gelitikan pada cara
manusia berpikir. Mengundang penonton untuk berkaca dan melihat dirinya sendiri,
apakah memiliki pengalaman serupa, saat melakukan sesuatu yang menjadi tidak
wajar dalam masyarakat karena terbentur dengan norma agama ataupun norma
lainnya, yang pada akhirnya membuat kita mengurungkan keinginan kita karena
malas dan lelah jika harus dihakimi oleh sekitar kita.
Maryam
menjadi perwakilan bagi siapa saja yang sedang bergumul antara dirinya dan
statusnya di masyarakat, yang sering kali akhirnya mengaburkan Homo Volens-nya
karena merasa bersalah jika mengedepankannya, dibandingkan dengan norma-norma
yang ditanamkan sedari kecil. Padahal secara psikologi dan biologi, kita
memiliki sistem yang ditanam secara langsung oleh Sang Pencipta, yang
sebenarnya mampu menentukan batasan yang baik untuk dilakukan dan tidak
dilakukan, tanpa mengabaikan kebutuhan tubuh secara alami. Ave Maryam menjadi
kesaksian dan bukan sekedar film yang menghibur dan memuaskan mata dengan tone
yang indah. Film ini pun menjadi pernyataan yang ditawarkan pada masyarakat
kita yang mengaku mampu bertoleransi, namun sering kali gagal dalam aksi. Satu
pertanyaan terakhir, apakah kita siap mewajarkan apa yang Maryam alami dan
menerimanya sebagai hal pribadi bagi Maryam, yang tidak seharusnya dihakimi?
No comments:
Post a Comment