Seumpama
bunga
Kami
adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh
Engkau
lebih suka membangun rumah dan merampas tanah
Seumpama
bunga
Kami
adalah bunga yang tak kau kehendaki
adanya
Engkau
lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi
Seumpama
bunga
Kami
adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika
kami bunga engkau adalah tembok itu
Tapi
di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji
Suatu
saat kami akan tumbuh bersama
Dengan
keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam
keyakinan kami
Di
manapun – tirani harus tumbang! - Wiji
Thukul
Aku tak mengenalnya;
Wiji Thukul.
Beberapa minggu lalu,
seorang sahabat mengenalkan namanya padaku. Pertanyaan pertamaku adalah siapa
dia? Tak terpikir akan pernah mengetahui nama Wiji Thukul dalam hidupku. Aku benar
menjadi salah satu saksi mata saat jatuhnya rezim ‘bangsat’, mengutip perkataan
beliau dalam film ‘Istirahatlah Kata-kata’. Tapi saat itu,aku tidak mengerti
seperti apakah arti kebebasan saat rezim itu hancur.
Bertahun-tahun kemudian
aku baru memahami apa yang dirasakan oleh saudara-saudaraku yang berhadapan
langsung dengan penekanan kebebasan sebagai warga Indonesia. Baru aku menyadari
bagaimana dipenjara di tanah air sendiri. Jangankan mampu mewujudkan mimpi, sekedar
berkata-kata pun susah rasanya. Begitu juga yang dialami oleh Wiji Thukul. Dia hanya
seorang penyair yang mencoba mencari arti hidup melalui puisi itu sendiri. Yang
terlahir dengan kemampuan mengolah kata sebagai caranya berkomunikasi. Salahkah
ia? Salahkan Tuhan jika kau menganggap bahwa berpuisi itu salah. Bahkan Tuhan
lebih dari seorang penyair. Karena Ia mampu menciptakan jutaan penyair yang
berbicara lewat tulisan mereka.
Aku tidak berniat untuk
meresensi atau membedah film ‘Istirahatlah Kata-kata’. Aku hanya hanya ingin
berbagi semangat dan pengalaman spiritual jiwa yang aku alami selama dan
setelah aku menonton film tersebut.
Ada semacam kecemasan
yang aku rasakan selama menonton film tersebut. Membayangkan bagaimana jika aku
menjadi seorang buronan, hanya karena aku merindukan kebebasan beraspirasi. Terpisah
beberapa waktu dari keluarga yang disayangi dan hidup berpindah dari satu
tempat, ke tempat lain dengan ketakutan setiap kali orang menanyakan
identitasku. Rasa cemas yang sarat terasa saat Wiji Thukul berada di tukang
potong rambut dan diajak bicara oleh seorang tentara. Apalagi mendengar
bagaimana si tentara mengatakan penangkapan para gelandangan adalah usaha untuk
membuat warga takut pada hukum, terlebih takut terhadap tentara. Emosiku begitu
campur aduk. Rasa takutnya menjadi bagianku seketika.
Diakhir cerita,
diinformasikan bagaimana Wiji Thukul tak merasakan keyakinannya terwujud. Sebulan
sebelum jatuhnya rezim tersebut, ia menghilang hingga saat ini. Dan aku tak
mampu berkata apapun saat itu, selain meneteskan air mata. Tidak bermaksud ‘lebay’,
tapi jiwaku benar-benar menangis. Bahkan hingga aku menulis tulisan ini, aku
masih meneteskan air mata. Karena apa yang dialami oleh Wiji Thukul, masih
dialami oleh semua generasi penerusnya. Hanya bentuk kasat mata saja yang
hancur. Tapi prinsip kerjanya masih terus mengakar di dalam komunitas
masyarakat kita.
Pernahkah kalian yang
sedang membaca tulisan ini merasa takut dengan bos kalian? Atau dengan sistem? Bahkan
pernahkah kalian ketakutan saat kalian berhadapan dengan aparat negara? Saat seorang
petinggi lewat di depan kalian, tanpa sadar kalian menundukkan kepala? Atau mobil
petinggi lain lewat saat kalian juga berada di jalan, dan kalian langsung
menepi memberikan jalan?
Kekuasaan dan jabatan
tetap menjadi hal yang kita takuti. Walaupun tertindas, kita akan memilih untuk
tidak mengeluarkan kata-kata. Entah dengan alasan apapun, kita membenarkan
kebungkaman kita. Karena toh sampai
saat ini, yang terlalu banyak bicara akan diam untuk selamanya. Aku juga
menjadi bagian dari kalian. Aku memilih bersuara akan apa yang kupikirkan, namun
sesaat kemudian aku memilih diam daripada aku didiamkan. Aku menjadi buronan
dalam dunia ketakutanku. Aku berlari dari buah pikiranku.
Bahkan konsep ber-Tuhan
pun demikian diajarkan dari kita kecil, “Jangan nakal, nanti masuk neraka”. Tuhan
pun dijadikan oknum yang menakutkan. Dari masih remaja, kita takut akan Tuhan,
bukan menyintai dan menghormati-Nya. Tak heran jika kita tumbuh menjadi penakut
di depan yang kita anggap lebih besar dan berkuasa.
Di dalam film tersebut
juga, berkali-kali digambarkan Wiji Thukul dan Sipon makan bersama. Kegiatan tersebut
menggambarkan apa yang pernah Wiji Thukul sampaikan, “Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai.” Kebebasan yang hakiki
antara dirinya dan istri tercinta hanyalah sesaat, karena ia akhirnya memutuskan
kembali ke arena perang, melawan penindasan
dan kebungkaman. Istirahat kata-katanya telah usai dan ia kembali berkata-kata.
Maknanya begitu besar untuk menamparku. Apakah aku akan terus memilih bungkam
dengan apa yang aku rasa tidak benar? Apakah aku akan terus ketakutan dengan
sesuatu yang besar di hadapanku? Apakah aku akan menjadi buronan dalam
pikiranku sendiri? Atau aku akan kembali berperang, walaupun hanya kenyakinan
yang akan menemaniku hingga kematian mengistirahatkan sendiri kata-kataku?
No comments:
Post a Comment