Sunday, February 5, 2017

Wiji Thukul; hormatku padamu, Pak!

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak  kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang! -  Wiji Thukul

Aku tak mengenalnya; Wiji Thukul.
Beberapa minggu lalu, seorang sahabat mengenalkan namanya padaku. Pertanyaan pertamaku adalah siapa dia? Tak terpikir akan pernah mengetahui nama Wiji Thukul dalam hidupku. Aku benar menjadi salah satu saksi mata saat jatuhnya rezim ‘bangsat’, mengutip perkataan beliau dalam film ‘Istirahatlah Kata-kata’. Tapi saat itu,aku tidak mengerti seperti apakah arti kebebasan saat rezim itu hancur.

Bertahun-tahun kemudian aku baru memahami apa yang dirasakan oleh saudara-saudaraku yang berhadapan langsung dengan penekanan kebebasan sebagai warga Indonesia. Baru aku menyadari bagaimana dipenjara di tanah air sendiri. Jangankan mampu mewujudkan mimpi, sekedar berkata-kata pun susah rasanya. Begitu juga yang dialami oleh Wiji Thukul. Dia hanya seorang penyair yang mencoba mencari arti hidup melalui puisi itu sendiri. Yang terlahir dengan kemampuan mengolah kata sebagai caranya berkomunikasi. Salahkah ia? Salahkan Tuhan jika kau menganggap bahwa berpuisi itu salah. Bahkan Tuhan lebih dari seorang penyair. Karena Ia mampu menciptakan jutaan penyair yang berbicara lewat tulisan mereka.

Aku tidak berniat untuk meresensi atau membedah film ‘Istirahatlah Kata-kata’. Aku hanya hanya ingin berbagi semangat dan pengalaman spiritual jiwa yang aku alami selama dan setelah aku menonton film tersebut.

Ada semacam kecemasan yang aku rasakan selama menonton film tersebut. Membayangkan bagaimana jika aku menjadi seorang buronan, hanya karena aku merindukan kebebasan beraspirasi. Terpisah beberapa waktu dari keluarga yang disayangi dan hidup berpindah dari satu tempat, ke tempat lain dengan ketakutan setiap kali orang menanyakan identitasku. Rasa cemas yang sarat terasa saat Wiji Thukul berada di tukang potong rambut dan diajak bicara oleh seorang tentara. Apalagi mendengar bagaimana si tentara mengatakan penangkapan para gelandangan adalah usaha untuk membuat warga takut pada hukum, terlebih takut terhadap tentara. Emosiku begitu campur aduk. Rasa takutnya menjadi bagianku seketika.

Diakhir cerita, diinformasikan bagaimana Wiji Thukul tak merasakan keyakinannya terwujud. Sebulan sebelum jatuhnya rezim tersebut, ia menghilang hingga saat ini. Dan aku tak mampu berkata apapun saat itu, selain meneteskan air mata. Tidak bermaksud ‘lebay’, tapi jiwaku benar-benar menangis. Bahkan hingga aku menulis tulisan ini, aku masih meneteskan air mata. Karena apa yang dialami oleh Wiji Thukul, masih dialami oleh semua generasi penerusnya. Hanya bentuk kasat mata saja yang hancur. Tapi prinsip kerjanya masih terus mengakar di dalam komunitas masyarakat kita.

Pernahkah kalian yang sedang membaca tulisan ini merasa takut dengan bos kalian? Atau dengan sistem? Bahkan pernahkah kalian ketakutan saat kalian berhadapan dengan aparat negara? Saat seorang petinggi lewat di depan kalian, tanpa sadar kalian menundukkan kepala? Atau mobil petinggi lain lewat saat kalian juga berada di jalan, dan kalian langsung menepi memberikan jalan?
Kekuasaan dan jabatan tetap menjadi hal yang kita takuti. Walaupun tertindas, kita akan memilih untuk tidak mengeluarkan kata-kata. Entah dengan alasan apapun, kita membenarkan kebungkaman kita. Karena toh sampai saat ini, yang terlalu banyak bicara akan diam untuk selamanya. Aku juga menjadi bagian dari kalian. Aku memilih bersuara akan apa yang kupikirkan, namun sesaat kemudian aku memilih diam daripada aku didiamkan. Aku menjadi buronan dalam dunia ketakutanku. Aku berlari dari buah pikiranku.

Bahkan konsep ber-Tuhan pun demikian diajarkan dari kita kecil, “Jangan nakal, nanti masuk neraka”. Tuhan pun dijadikan oknum yang menakutkan. Dari masih remaja, kita takut akan Tuhan, bukan menyintai dan menghormati-Nya. Tak heran jika kita tumbuh menjadi penakut di depan yang kita anggap lebih besar dan berkuasa.


Di dalam film tersebut juga, berkali-kali digambarkan Wiji Thukul dan Sipon makan bersama. Kegiatan tersebut menggambarkan apa yang pernah Wiji Thukul sampaikan, “Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai.” Kebebasan yang hakiki antara dirinya dan istri tercinta hanyalah sesaat, karena ia akhirnya memutuskan kembali ke arena perang,  melawan penindasan dan kebungkaman. Istirahat kata-katanya telah usai dan ia kembali berkata-kata. Maknanya begitu besar untuk menamparku. Apakah aku akan terus memilih bungkam dengan apa yang aku rasa tidak benar? Apakah aku akan terus ketakutan dengan sesuatu yang besar di hadapanku? Apakah aku akan menjadi buronan dalam pikiranku sendiri? Atau aku akan kembali berperang, walaupun hanya kenyakinan yang akan menemaniku hingga kematian mengistirahatkan sendiri kata-kataku?

No comments:

Post a Comment